Satu
tahun lebih pendidikan tinggi Indonesia dilepas pengelolaanya dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke kementerian baru bernama
Kemenristek dan Dikti. Kementerian baru dalam kabinet pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla ini sederhananya bermaksud lebih memajukan pendidikan
tinggi, terlepas dari beban berat dan kerumitan pendidikan dasar dan
menengah.
Dengan mengambil model
pengelolaan di bawah kementerian khusus, kualitas pendidikan tinggi
diharapkan dapat diakselerasikan sehingga lebih kompetitif vis-à-vis
pendidikan tinggi negara lain. Hanya dengan pendidikan tinggi
berkualitas mumpuni, perguruan tinggi-negeri dan swasta- bisa menjadi
lokus pembelajaran dan penelitian inovatif sehingga dapat menjadi “mesin
modernisasi” dan pembangunan demi kemajuan bangsa, seperti terlihat
dalam lompatan yang dicapai negara semacam Tiongkok.
Meski
demikian, gagasan dan paradigma ini terlihat makin “jauh panggang dari
api”. Nomenklatur kementerian ini saja tidak menggambarkan pemberian
prioritas pada pendidikan tinggi. Padahal, pendidikan tinggi di banyak
negara bukan hanya sebagai pusat pembelajaran tingkat tinggi, melainkan
sekaligus lokus utama riset. Ada perguruan tinggi di Tanah Air yang
mendeklarasikan diri sebagai universitas riset, tetapi
kenyataannya-sekali lagi-jauh panggang dari api.
Sebaliknya,
dari nama kementerian ini terlihat seolah riset lebih mendapat
prioritas. Realitas menunjukan, tidak ada pertanda riset mendapatkan
perhatian khusus pemerintahan Jokowi-Kalla. Presiden Jokowi hampir tak
pernah berbicara substantif tentang arah pengembangan riset negara ini
menyongsong tantangan.
Presiden
Jokowi juga hampir tidak pernah bicara konseptual tentang pendidikan
tinggi. Boleh jadi karena kenyataan itu, Menristek dan Dikti turut belum
berbicara konseptual substantif dan strategis tentang pengembangan
riset dan pendidikan tinggi Indonesia. Padahal, pendidikan tinggi dan
riset memerlukan proritas khusus jika Indonesia ingin lebih maju dan
kompetitif.
Karena itu, tidak jelas
bagaimana perguruan tinggi menyelesaikan berbagai masalah serius yang
kian membelenggu. Salah satu masalah pokok tersebut adalah birokratisasi
yang semakin merampas otonomi perguruan tinggi dan sivitas akademika,
khususnya dosen dan professor. Sebagian birokratisasi berasal dari
kebijakan Mendikbud Muhammad Nuh; sebagian lagi bersumber dari
Kementerian PAN dan RB, Badan Kepegawaian Negara, serta Kemenristek dan
Dikti.
Berbagai ketentuan
birokratisasi membuat dosen dan guru besar yang merupakan motor dan
dinamisator perguruan tinggi kian kehilangan kebebasan. Sebaliknya,
mereka menghabiskan perhatian dan waktu pada urusan tetek bengek terkait
administrasi. Kalangan kampus yang kritis menyebut proses birokratisasi
itu sebagai “kolonialisasi” perguruan tinggi oleh kementerian yang
menjadikan perguruan tinggi sekedar unit pelaksana teknis kementerian.
Lihat,
misalnya, ketentuan tentang kewajiban laporan beban kerja dosen (BKD)
yang sejak 2010 dan kian ketat dalam beberapa tahun terakhir. Setiap
akhir semester, dosen harus melaporkan kinerjanya dengan menyiapkan
berbagai bahan yang bukan tidak menimbulkan banyak kerepotan.
Celakanya,
tunjangan (sertifikasi) dosen tidak diberikan selama laporan BKD belum
lolos verifikasi berlapis. Dosen senior dan professor kini lazim tidak
menerima tunjangan berbulan-bulan. Mereka harus hidup dengan gaji pokok
sekitar Rp 4 juta atau profesor sekitar Rp 7 juta. Penundaan pembayaran
tunjangan jelas tidak manusiawi dan bisa disebut zalim. Penundaan
tunjangan juga jelas bertentangan dengan ketentuan perburuhan. Juga
bertentangan dengan prinsip Islam, seperti disebutkan dalam hadis Nabi
Muhammad SAW yang menyerukan kepada majikan: “bayarlah upah buruhmu
sebelum kering keringat mereka”.
Birokratisasi
kurang masuk akal terlihat pula dalam Surat Edaran Menteri PAN dan RB
Nomor 1 Tahun 2015 yang mewajibkan semua PNS-termasuk dosen- melaporkan
kekayaan setiap kali mendapat promosi. Dosen biasa yang buka atau tidak
pernah promosi menjadi pejabat-yang hidup pas-pasan jika tidak miskin-
direpotkan keperluan menyiapkan berkas yang tidak relevan berkas yang
tidak relevan dengan dunia akademik dan keilmuan.
Semua
birokratisasi ini jelas mencengkeram dan memupus kebebasan dan otonomi
kampus yang menjadi prasyarat bagi perguruan tinggi meningkatkan
kualitas sehingga dapat memainkan peran lebih besar bagi negara-bangsa.
Jika kita masih berharap perguruan tinggi dapat memainkan peran itu,
pendidikan tinggi harus mengalami reformasi, debirokratisasi, atau
bahkan dekolonialisasi. Tanpa itu, perguruan tinggi Indonesia tetap
jalan di tempat belaka.