Kamis, 12 Mei 2016

MERAWAT ISLAM DAN DEMOKRASI

Oleh: Maksis Sakhabi

Momentum menyambut bulan Ramadhan bisa dikatakan relevan dengan segala usaha manusia dalam mengevaluasi diri atas cerminan sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifah fil ardh). Tugas-tugas manusia sebagai wakil Tuhan yaitu bagaimana mereka dapat memakmurkan bumi dan memberikan kesejahteraan bagi sesamanya. Proses ini kemudian terbentuk dalam dinamika kehidupan. Islam menempatkan manusia sebagai makhluk berakal yang bisa menjadikan kehidupan dinamis dan terus menerus berganti dari satu generasi ke generasi lainnya, dari satu tempat ke tempat lainnya dan dari satu kebiasaan menuju kebiasaan lainnya.

Mengutip apa yang disampaikan Ibnu Chaldun dalam karyanya yang masyhur yakni Muqaddimah, bahwa arus kehidupan manusia ditentukan kepada implementasi musyawarah. Tatanan kehidupan masyarakat dikuasai oleh konsensus sebagian besar masyarakat, seperti halnya negara demokrasi menelurkan kepala negara, kepala daerah dan terus ke bawah. Semuanya lahir dari sistem demokrasi yang didalamnya menempatkan musyawarah sebagai majelis tinggi dalam mencari kemufakatan (QS.Asyuura:38). Oleh karena itu, prinsip demokrasi akan sejalan dengan cara-cara Islam mengatur kekuasaan (negara).

Islam dan demokrasi adalah dua terminologi yang memiliki perpaduan partikular pada aspek sosial-masyarakat, politik dan hukum, ekonomi dan budaya dan lain-lainnya. Kita dapat membandingkan hakikat keduanya pada posisi terpisah. Bagaimaa tidak ketika Islam mengatur kehidupan masyarakat negara dengan asas-asas kemanusiaan (humanisme). Seperti memposisikan kedudukan wanita dengan laki-laki sejajar dalam kehidupan sosial, anjuran bekerja keras dalam menopang laju perekonomian, serta mendorong berbuat adil dalam sistem politik dan hukum. Persis seperti yang tertulis dalam QS. An-Nisaa ayat 135 yang mengatakan “Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan”.

Kemudian, demokrasi berpendirian pada bentuk kedaulatan rakyat. Artinya, tidak ada yang menghalangi kehendak rakyat dalam menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara menurut caranya. Disini, tidak akan dibahas panjang lebar model dan bentuk demokrasi yang terdapat sekarang ini. secara umum, demokrasi menghendaki adanya keputusan rakyat yang dihasilkan melalui kemufakatan rakyat. Dalam hal ini, Inu K. Syafe’i mengartikannya sebagai usaha untuk menghormati hak-hak individu, karena di negara-negara liberal maupun komunis disaksikan keruntuhan ketiranian, kemudian dibentuklah pemerintahan rakyat dengan berbagai pola dan model yang berkembang pada masing-masing sistem politik pemerintahan. Sehingga yang terjadi saat ini, demokrasi dijadikan pilihan bangsa-bangsa dalam menata kehidupan negara.

kembali pada dua terminologi di atas, Islam dan Demokrasi merupakan estetika dalam falsafah politik yang membetuk kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan, juga sebagai manifestasi masyarakat negara dalam memakmurkan kehidupan dan memberikan kesejahteraan bagi sesamanya. Oleh karenanya, kita tidak bisa mengukur efektivitas demokratisasi dari satu teori saja. Ada titik-titik khusus yang membentuk bangsa itu mulia dan luhur melewati proses demokrasi tersebut dan tidak lain diwakili oleh moralitas dan akhlak para elite penguasa. Sebagaimana sejalan dengan firman Allah: “dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung,(QS.Ali-Imron:104)”. Disini kita dapat menegaskan, bahwa Islam dan Demokrasi adalah keberhasilan membagun masyarakat, menata pemerintahan, menetralisir sistem politik, menjaga keutuhan demokrasi. Dan tentu saja semua itu tidak hanya berlaku bagi satu golongan atau kelompok saja melainkan bagi semua manusia di bumi (rahmatan lil alamin).

Realitas Politik
Perspektif Islam memandang demokrasi sebagai nilai sekaligus prinsip mulia bertujuan untuk memberikan kesejahteraan sesama. Kemudian, kita akan menghubungkan dengan realitas politik dan praktik demokrasi yang ada. Tidak sedikit masyarakat beranggapan bahwa politik itu tidak lebih dari praktik menghalalkan segala cara demi tercapainya syahwat kekuasaan atau tepatnya kepentingan, dan me-nomor dua-kan halal-haram. Anggapan tersebut tidaklah salah tetapi tidak boleh menghentikan ijtihad kita lantaran anggapan tersebut. Ada ruang gerak bagi setiap manusia dalam memperoleh segala keinginan dan kebutuhannya. Sebagai contoh ketika kita merasa lapar di saat sedang dihadapkan pekerjaan yang belum selesai, maka dengan cara apapun kita akan membela keinginan kita untuk menghilangkan rasa lapar tersebut. Ada dua kemungkinan, terus menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu atau menundanya. Tetapi yang jelas keinginan tersebut akan menjadi prioritas berikutnya.

Begitu pula dengan dinamika kehidupan bernegara. Kita pasti tahu bahwa demokrasi berkehendak melahirkan pemimpin. Bisa jadi berbentuk kepala negara/presiden, gubernur, bupati/walikota dan seterusnya. Posisi strategis tersebut begitu banyak diminati orang tetapi tidaklah semuanya menduduki posisi yang sama secara bersamaan. Sehingga kondisi psikologis yang muncul adalah hasrat kuat untuk mewujudkan keinginan tadi. Maka disini ada peranan lain yang menyebabkan nilai luhur itu ada atau tiada dalam demokrasi tersebut. Klaim masyarakat terhadap realitas politik yang cenderung menghalalkan segala cara muncul dari sisi negatif, yang tidak dipengaruhi dengan pengabdian kepada rakyat melainkan semangat gelora untuk berkuasa semata. Islam pun menjawab kondisi seperti ini. Ditegaskan dalam QS Al-Qashash:26 bahwa “sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat dan dapat dipercaya”. Artinya, Islam selalu mengedepankan aspek moralitas dalam demokrasi sehingga pencapaian pemerintahan rakyat dapat terwujud, bukan pemerintahan golongan.

Persoalan tersebut diatas diakibatkan adanya kesalahan persepsi bahwa demokrasi dianggap alat untuk kebebasan. Dengan kata lain, aktivitas kita bebas dan dibenarkan menurut cara kita masing-masing. Tentu saja tidak demikian adanya, proses demokrasi memiliki regulasi. Tidak bisa dilakukan menurut cara masing-masing individu/kelompok. Bagi mereka yang berpandangan bebas sebebas-bebasnya tidak menempatkan aspek moralitas sebagai penentu kualitas demokrasi itu terjadi dan hanya fokus pada satu keinginan berkuasa. Menanggapi hal ini, filosof sekaligus sosiolog Jerman, Jurgen Habermas turut menyerukan bahwa demokrasi yang dianggap bebas tanpa batas tidak memberika dampak positif pada masyarakat negara tetapi sebaliknya, akan melahirkan watak negatif dan ketidakpastian dalam hidup.

Habermas berpandangan bahwa perlu adanya deliberalisasi demokrasi yang dapat mencegah praktik politik kotor yang menciderai demokrasi itu sendiri. Mengatasamakan rakyat yang sudah terkondisikan dengan situasi sama bentuknya dengan pembodohan publik, melakukan penggiringan opini tidak berdasarkan fakta sama halnya dengan fitnah siyasah. Oleh karenanya, melalui teorinya demokrasi deliberatif, habermas menegaskan tidak akan terwujud kehidupan sosial adil dan merata manakala proses demokrasi diciderai dengan praktik politik kotor. Nah, disinilah ternyata tidak hanya Islam yang peduli terhadap pengawalan proses demokrasi tetapi ilmuan Barat pun megedepankan etika politik dalam proses demokrasi.


Dengan kata lain, Islam dan Demokrasi ini sejalan beriringan mendukung tatanan kehidupan manusia yang adil dan beradab, terciptanya kesejahteraan sosial yag merata dan menempatkan moral sebagai pengendali/kontrol bagi unsur-unsur demokrasi dan turunannya. Selamat berdemokrasi.

Tim MS Corner

About Tim MS Corner

Author Description here.. Nulla sagittis convallis. Curabitur consequat. Quisque metus enim, venenatis fermentum, mollis in, porta et, nibh. Duis vulputate elit in elit. Mauris dictum libero id justo.

Subscribe to this Blog via Email :