Oleh: Maksis Sakhabi
Momentum menyambut bulan Ramadhan bisa dikatakan relevan dengan segala usaha manusia dalam
mengevaluasi diri atas cerminan sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifah fil ardh). Tugas-tugas manusia
sebagai wakil Tuhan yaitu bagaimana mereka dapat memakmurkan bumi dan
memberikan kesejahteraan bagi sesamanya. Proses ini kemudian terbentuk dalam
dinamika kehidupan. Islam menempatkan manusia sebagai makhluk berakal yang bisa
menjadikan kehidupan dinamis dan terus menerus berganti dari satu generasi ke
generasi lainnya, dari satu tempat ke tempat lainnya dan dari satu kebiasaan
menuju kebiasaan lainnya.
Mengutip apa yang disampaikan Ibnu Chaldun dalam karyanya yang
masyhur yakni Muqaddimah, bahwa arus
kehidupan manusia ditentukan kepada implementasi musyawarah. Tatanan kehidupan
masyarakat dikuasai oleh konsensus sebagian besar masyarakat, seperti halnya
negara demokrasi menelurkan kepala negara, kepala daerah dan terus ke bawah. Semuanya
lahir dari sistem demokrasi yang didalamnya menempatkan musyawarah sebagai
majelis tinggi dalam mencari kemufakatan (QS.Asyuura:38). Oleh karena itu,
prinsip demokrasi akan sejalan dengan cara-cara Islam mengatur kekuasaan
(negara).
Islam dan demokrasi adalah dua
terminologi yang memiliki perpaduan partikular pada aspek sosial-masyarakat,
politik dan hukum, ekonomi dan budaya dan lain-lainnya. Kita dapat
membandingkan hakikat keduanya pada posisi terpisah. Bagaimaa tidak ketika
Islam mengatur kehidupan masyarakat negara dengan asas-asas kemanusiaan
(humanisme). Seperti memposisikan kedudukan wanita dengan laki-laki sejajar
dalam kehidupan sosial, anjuran bekerja keras dalam menopang laju perekonomian,
serta mendorong berbuat adil dalam sistem politik dan hukum. Persis seperti
yang tertulis dalam QS. An-Nisaa ayat 135 yang mengatakan “Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan”.
Kemudian, demokrasi berpendirian pada
bentuk kedaulatan rakyat. Artinya, tidak ada yang menghalangi kehendak rakyat
dalam menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara menurut caranya. Disini,
tidak akan dibahas panjang lebar model dan bentuk demokrasi yang terdapat
sekarang ini. secara umum, demokrasi menghendaki adanya keputusan rakyat yang
dihasilkan melalui kemufakatan rakyat. Dalam hal ini, Inu K. Syafe’i
mengartikannya sebagai usaha untuk menghormati hak-hak individu, karena di negara-negara
liberal maupun komunis disaksikan keruntuhan ketiranian, kemudian dibentuklah
pemerintahan rakyat dengan berbagai pola dan model yang berkembang pada
masing-masing sistem politik pemerintahan. Sehingga yang terjadi saat ini,
demokrasi dijadikan pilihan bangsa-bangsa dalam menata kehidupan negara.
kembali pada dua terminologi di atas,
Islam dan Demokrasi merupakan estetika dalam falsafah politik yang membetuk
kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan, juga sebagai manifestasi masyarakat negara
dalam memakmurkan kehidupan dan memberikan kesejahteraan bagi sesamanya. Oleh
karenanya, kita tidak bisa mengukur efektivitas demokratisasi dari satu teori
saja. Ada titik-titik khusus yang membentuk bangsa itu mulia dan luhur melewati
proses demokrasi tersebut dan tidak lain diwakili oleh moralitas dan akhlak
para elite penguasa. Sebagaimana sejalan dengan firman Allah: “dan hendaklah ada diantara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung,(QS.Ali-Imron:104)”.
Disini kita dapat menegaskan, bahwa Islam dan Demokrasi adalah keberhasilan
membagun masyarakat, menata pemerintahan, menetralisir sistem politik, menjaga
keutuhan demokrasi. Dan tentu saja semua itu tidak hanya berlaku bagi satu
golongan atau kelompok saja melainkan bagi semua manusia di bumi (rahmatan lil alamin).
Realitas Politik
Perspektif Islam memandang demokrasi sebagai
nilai sekaligus prinsip mulia bertujuan untuk memberikan kesejahteraan sesama.
Kemudian, kita akan menghubungkan dengan realitas politik dan praktik demokrasi
yang ada. Tidak sedikit masyarakat beranggapan bahwa politik itu tidak lebih
dari praktik menghalalkan segala cara demi tercapainya syahwat kekuasaan atau
tepatnya kepentingan, dan me-nomor dua-kan halal-haram.
Anggapan tersebut tidaklah salah tetapi tidak boleh menghentikan ijtihad kita
lantaran anggapan tersebut. Ada ruang gerak bagi setiap manusia dalam
memperoleh segala keinginan dan kebutuhannya. Sebagai contoh ketika kita merasa
lapar di saat sedang dihadapkan pekerjaan yang belum selesai, maka dengan cara
apapun kita akan membela keinginan kita untuk menghilangkan rasa lapar
tersebut. Ada dua kemungkinan, terus menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu
atau menundanya. Tetapi yang jelas keinginan tersebut akan menjadi prioritas
berikutnya.
Begitu pula dengan dinamika kehidupan
bernegara. Kita pasti tahu bahwa demokrasi berkehendak melahirkan pemimpin.
Bisa jadi berbentuk kepala negara/presiden, gubernur, bupati/walikota dan
seterusnya. Posisi strategis tersebut begitu banyak diminati orang tetapi
tidaklah semuanya menduduki posisi yang sama secara bersamaan. Sehingga kondisi
psikologis yang muncul adalah hasrat kuat untuk mewujudkan keinginan tadi. Maka
disini ada peranan lain yang menyebabkan nilai luhur itu ada atau tiada dalam
demokrasi tersebut. Klaim masyarakat terhadap realitas politik yang cenderung
menghalalkan segala cara muncul dari sisi negatif, yang tidak dipengaruhi
dengan pengabdian kepada rakyat melainkan semangat gelora untuk berkuasa
semata. Islam pun menjawab kondisi seperti ini. Ditegaskan dalam QS
Al-Qashash:26 bahwa “sesungguhnya orang
yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang
kuat dan dapat dipercaya”. Artinya, Islam selalu mengedepankan aspek
moralitas dalam demokrasi sehingga pencapaian pemerintahan rakyat dapat
terwujud, bukan pemerintahan golongan.
Persoalan tersebut diatas diakibatkan
adanya kesalahan persepsi bahwa demokrasi dianggap alat untuk kebebasan. Dengan
kata lain, aktivitas kita bebas dan dibenarkan menurut cara kita masing-masing.
Tentu saja tidak demikian adanya, proses demokrasi memiliki regulasi. Tidak
bisa dilakukan menurut cara masing-masing individu/kelompok. Bagi mereka yang
berpandangan bebas sebebas-bebasnya tidak menempatkan aspek moralitas sebagai
penentu kualitas demokrasi itu terjadi dan hanya fokus pada satu keinginan
berkuasa. Menanggapi hal ini, filosof sekaligus sosiolog Jerman, Jurgen
Habermas turut menyerukan bahwa demokrasi yang dianggap bebas tanpa batas tidak
memberika dampak positif pada masyarakat negara tetapi sebaliknya, akan
melahirkan watak negatif dan ketidakpastian dalam hidup.
Habermas berpandangan bahwa perlu
adanya deliberalisasi demokrasi yang dapat mencegah praktik politik kotor yang
menciderai demokrasi itu sendiri. Mengatasamakan rakyat yang sudah
terkondisikan dengan situasi sama bentuknya dengan pembodohan publik, melakukan
penggiringan opini tidak berdasarkan fakta sama halnya dengan fitnah siyasah.
Oleh karenanya, melalui teorinya demokrasi deliberatif, habermas menegaskan
tidak akan terwujud kehidupan sosial adil dan merata manakala proses demokrasi
diciderai dengan praktik politik kotor. Nah, disinilah ternyata tidak hanya
Islam yang peduli terhadap pengawalan proses demokrasi tetapi ilmuan Barat pun
megedepankan etika politik dalam proses demokrasi.
Dengan kata lain, Islam dan Demokrasi
ini sejalan beriringan mendukung tatanan kehidupan manusia yang adil dan
beradab, terciptanya kesejahteraan sosial yag merata dan menempatkan moral
sebagai pengendali/kontrol bagi unsur-unsur demokrasi dan turunannya. Selamat
berdemokrasi.