Pembangunan
berkelanjutan merupakan sebuah tema diskusi di setiap ruang perdebatan para
kaum logika. Tema ini menjadi penting lantaran adanya suatu tujuan bersama di
era millenium (Millenium Development Goals) yaitu terwujudnya masyarakat
dunia yang adil, makmur dan sejahtera merata.
Tak hanya di Indonesia saja, tema
pembangunan berkelanjutan merambah ke seluruh penjuru dunia. Kali ini, dalam
sebuah momentum penting para cendekiawan Islam di Indonesia berkumpul,
membicarakan pembangunan berkelanjutan sebagai bentuk implementasi keilmuan
para cendekiawan dalam menentukan sikap dan tindakan untuk kehidupan yang
nyata. Para cendekiawan muslim berdebat menyoal peran dan eksistensi kaum
intelektual di ranah pemerintahan. Karena hampir seluruhnya berpendapat peran
dalam dunia pemerintahan tak hanya dibutuhkan sebuah konsep kelimuan semata
melainkan sisi-sisi lain kehidupan sosial, politik dan ekonomi menjadi
pertimbangan penguasa untuk melibatkan kaum intelektual.
Prof. Jimly Asshiddiqie sebagai
Ketua Umum ICMI mengungkapkan bahwa saat ini kita dalam sebuah tatanan
kehidupan di alam demokrasi yang menyebabkan suara kaum intelektual sama dengan
suara masyarakat kelas bawah. Bukan bermaksud menyinggung kaum arus bawah,
tujuan pernyataan tersebut adalah menyinggung soal peran dan eksistensi para cendekiawan
di dalam pemerintahan republik ini. Satu suara professor sama dengan satu suara
tukang becak, begitu kelakar sang Ketua umum ICMI. Tidak ada yang salah dengan
ungkapan tersebut, karena memang kondisi saat ini kaum intelektual hanya sibuk
mengurus penelitian, melakukan percobaan, mengurus kampus, membuat silabus dan
kesibukan lainnya yang cukup mengikat untuk keluar mengikuti perkembangan
kehidupan nyata.
Sejatinya, kaum intelektual
adalah garda terdepan dalam merumuskan ihwal pembangunan di suatu bangsa. Bagaimana
kemudian bangsa ini menjadi bangsa yang agung, disegani, mendapat tempat di
kancah internasional, menjadi bangsa yang super power, tentu ini tak sekedar
konsep di atas secarik kertas atau berbentuk proposal tebal yang dilengkapi
banyak referensi pustaka. Rumusan tersebut harus dalam bentuk paket komplit. Mulai
dari rumusan teori, meta teori, presentasi, implementasi sampai pada evaluasi. Dimulai
dari berpikir berlanjut dalam bentuk tindakan hingga akhirnya dalam
kebermanfaatan. Itulah sejatinya kaum intelektual berada di tengah-tengah
pembangunan berkelanjutan.
Dari sini, kaum intelektual harus
lebih percaya diri untuk mengembangkan kelimuannya dalam bentuk aksi nyata
berpartisipasi dalam pembangunan yang riil yaitu melalui keikutsertaannya dalam
pembangunan, baik di level lokal, nasional maupun internasional. Sesungguhnya
kaum intelektual memiliki cara yang tak banyak dimiliki kebanyakan orang
lainnya, peletakan dasar-dasar bangunannya sudah dirancang sejak dalam pikiran.
Kemudian ia tuangkan dalam bentuk konsep tertulis yang kemudian memerlukan
adanya penjelasan-penjelasan langsug (presentasi), dan setelah itu barulah
implementasi langsung secara teknis. Ini adalah cara yang paling dinamis,
elegan dan bermartabat, tindakannya selalu didasari keilmuan yang memadai, dan
hasilnya selalu diiringi dengan evaluasi. Jika budaya ini dilakukan oleh
pemerintah di semua tingkatan, saya yakin Indonesia bisa dengan cepat menjadi
bangsa yang maju, mandiri, berdaya saing tinggi dan disegani oleh bangsa-bangsa
lain.
Mari sebagai kaum intelektual kita
turun langsung melihat dari jarak dekat, berdialog dengan eksekutif dan berbuat
secara langsung mengaplikasikan apa-apa yang menjadi perhatian dan fokus bidang
masing-masing. Jangan katakan kita adalah kaum cendekiawan selama kita belum
mampu berbuat langsung untuk dirasakan manfaatnya oleh orang banyak. Maka,
berlombalah dalam hal kebaikan.