Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi Banten tinggal dalam
hitungan enam bulan lagi. Euphoria pesta demokrasi ini semakin terlihat di
permukaan ketika para pendukung kandidat menunjukkan geliat eksistensinya di
hadapan publik. Beragam cara dilakukan para pendukung kandidat, mulai dari
melakukan gerakan di media sosial (medsos), sebar alat peraga spanduk, baligo
dan sebagainya hingga muncul ke forum-forum meleburkan diri bersama masyarakat
untuk melakukan persuasi kepada para pemilih. Semua itu adalah bagian dari
upaya masing-masing pendukung untuk menjual dan mempromosikan kandidat yang
diidam-idamkannya.
Namun
ada sedikit yang mengganggu ketenangan publik, ketika para pendukung kandidat
itu melakukan kampanye hitam (black campaign) atas lawan-lawan
politiknya, atau melakukan aktivitas bullying
di medsos, meneriaki mereka yang berbeda pilihan dengan kalimat-kalimat tak
sepatutnya, merongrong orang-orang yang berbeda dengan pilihannya untuk tidak
melakukan promosi dan menjual kandidatnya kepada publik. Semua itu hanya akan
melahirkan kegaduhan politik, sama sekali tidak ada nilai edukasi untuk
siapapun, kecuali para penista agama dan etika.
Mari
di sini kita bicara tentang prinsip dan etika. Kedua bahasan itu melekat dalam
sistem demokrasi yang sehat, dewasa dan berkualitas. Pilkada Banten 2017
mendatang adalah event yang dapat menerangkan bagaimana orang Banten
dilihat dari sudut pandang kemapanan dalam berdemokrasi. Adalah Emmanual
Levinas seorang filsuf terkemuka dari kalangan Yahudi yang memberikan pandangan
soal etika politik. Bahwa di alam demokrasi kita, etika menjadi panglima
tertinggi dalam membiasakan masyarakat berpikir maju dan modern. Jika suatu
saat masyarakat Banten menganggap kompetisi di alam demokrasi adalah cara terbaik
untuk menghasilkan seorang pemimpin, maka pada saat itulah lahir
pemimpin-pemimpin yang kuat, berintegritas dan mementingkan nasib rakyat.
Mereka adalah para kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur, mereka adalah
pendukung Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, dan mereka adalah yang mengakui
Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih nanti. Semuanya adalah pemimpin dalam
kerangka etika politik.
Tradisi
baru yang muncul saat ini dalam Pilkada Banten adalah perang dunia maya. Betapa
gaduhnya jika kita saksikan peperangan yang dilakukan para pendukung kandidat
Gubernur dan Wakil Gubernur di media sosial. Kalimat provokasi selalu menjadi
pembuka dalam setiap postingan, propaganda tidak henti-hentinya dilakukan
pendukung kandidat untuk melemahkan musuh dan menguatkan dirinya, begitu
seterusnya. Dan, yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah ketika cacian dan
makian hilir mudik bergantian menyerang satu sama lainnya diantara pendukung
kandidat tanpa ada makna sama sekali kecuali kepuasan nafsu karena telah
menyerang musuhnya. Mengapa tidak lebih baik mereka memunculkan gagasan-gagasan
brilian dari para kandidat yang didukungya dari pada melontarkan
kalimat-kalimat tak enak dibaca oleh publik, atau mengapa mereka tidak
menunjukkan semangat persatuan dan kesatuan para kandidat saja dalam
berkompetisi di Pilkada Banten ini dari pada harus membuka pintu-pintu
permusuhan. Semakin banyak terbuka pintu permusuhan, sesungguhnya semakin sulit
perjuangan para kandidat berlaga, mereka seolah tidak menghiraukan demikian
padahal mereka dalam keadaan sadar dan mafhum atas urusan itu.
Prinsip
demokrasi adalah “toleransi”, etika politik adalah sikap tanggung jawab.
Levinas mengutarakan konsep The Face dan The Other. The face
adalah wajah kita, wajah personal, tentang kelakuan, dan tentang sikap
(kepribadian). Ketika para pendukung masing-masing kandidat melakukan
tindakan-tindakan abnormal yang mengganggu ketenangan orang lain disaat
bersamaan mereka telah merusak personality kandidat yang didukungnya. Semakin
brutal tindakan yang dilakukan semakin rusak persoanlity kandidat dimata
publik. Maka dari itu, mari kita senantiasa memegang The Face sebagai
wajah asli kita, tidak berpura-pura menjadi sosok penyerang. Apalagi di dunia
maya, orang mudah melakukan tindakan pura-pura, membuat akun palsu menggunakan
nama dan wajah (the face) dengan suka-suka dan bertindak suka-suka pula. The
face akan melindungi personality kandidat jika ini dilakukan dengan
bijaksana. Orang yang berpikir tentang kebaikan prilaku dan sikap dirinya, maka
ia akan selalu menghitung tanggung jawabnya terhadap orang lain. Ketika
seseorang melakukan tindakan yang tidak etis, konsekuensinya adalah ia tidak
memiliki keberanian untuk mempertanggung jawabkan tindakannya kepada orang
lain. Akun palsu yang bermunculan di medsos adalah bukti mereka tidak
bertanggung jawab terhadap orang lain atas wajah aslinya.
Maka
dengan demikian, tanggung jawab sebagai personal dalam hal ini adalah kunci
keberhasilan bagi kandidatnya untuk mendapatkan simpati dari publik luas.
Kemudian, prinsip demokrasi adalah toleransi. Saya mengatakan demikian karena
hakikat demokrasi adalah musyawarah. Dalam bermusyawarah, masyarakat dianjurkan
untuk mendasarkan pada hukum-hukum yang benar, baik hukum dalam konstitusi
negara maupun hukum dalam agama (ideologi). Dengan prinsip ini, demokrasi kita
akan sehat, dewasa dan berkualitas, karena mengandung unsur-unsur musyawarah.
Toleransi sangat dibutuhkan dalam gelanggang Pilkada Banten ini, jika para
kandidat mendoktrin para pendukungnya untuk menjaga nilai-nilai tolernasi
diantara sesama kontestan, maka dapat dibayangkan terciptanya alam demokrasi
yang tenang, santun dan berkarakter. Sikap toleransi dalam demokrasi ini akan
menjadikan masyarakat Banten cerdas dalam memilih, dewasa dalam berdemokrasi.
Maka masyarakat kita akan memiliki karakter yang super dalam demokrasi di
Pilkada Banten 2017 ini.
Durarul Mudawaroh, SE (Wakil Presidium Majelis Perempuan Banten)